Sapaan hangat sang mentari pagi ini
membuatnya bimbang, pergi dan -dengan kemungkinan kecil- kembali, atau tidak
pergi sama sekali. Ia masih berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke depan
jalan yang aspalnya berwarna coklat. Ransel yang di sandangnya penuh, seakan
berteriak “ayo pergi!” tapi hatinya masih gundah. Meninggalkan sang bunda
sendirian membuatnya berpkir seribu kali untuk memutuskan pergi -atau tidak- menyebrangi
samudera lalu mendarat di pulau yang tak pernah ia tapaki sebelumnya. Ia tahu
sang bunda yang semalaman menangis karena dengan berat hati mengikhlaskan
kepergian putri semata wayangnya, masih menangis di dapur dengan dalih membuat
sedikit bekal untuk putri tercintanya. Mendekap liontin pemberian bapak yang
sudah lama pergi membuatnya gamang. Pergi mengambil langkah untuk mimpi-mimpi
besarnya ataukah tetap tinggal di rumah menemani dan membantu bundanya mengurus
tempat penggilingan padi yang diwariskan sang bapak.
“ndhuk” panggilan sayang bundanya
menggema di telinganya, membuat setitik air yang sejak tadi menggenang di
pelupuk meluncur dengan bebasnya. Ia terpikirkan satu hal. Takkan lagi di dengarnya
panggilan itu jika ia memutuskan untuk pergi.
“ini bekal untuk di jalan nanti,
makannya saat kau sudah mulai terbiasa dengan kapal ya ndhuk, biar tidak mabuk
laut.” Pesan sang bunda dengan suara serak. Ia masih tak berani berpaling ke
belakang, takut sesuatu seperti ia dengan tiba-tiba memeluk bundanya -yang
bengkak matanya karena tak berhenti menangis- sambil menangis meraung-raung
mengatakan pada bundanya untuk ikut bersamanya atau tak membiarkannya pergi
terjadi.
“bun, ikutlah. Biarlah kita titipkan
rumah dan penggilingan pada paman dan bibi.” Jawabnya setelah hening
menyelimuti jarak antara mereka. Ia bukan tak tahu alasan mengapa bundanya bersikeras
tak mau ikut pergi ke jakarta. Ia tahu semingguan ia meyakinkan sang bunda
untuk pergi sia-sia hanya karena bundanya tak ingin tak ada tempat untuknya
kembali.
“bunda sangat ingin ikut ndhuk, tapi
lihatlah apa yang sudah ditinggalkan bapakmu untuk kita? Tak ingatkah kau saat
dulu dengan penuh tawa kau langkahkan kaki-kaki kecilmu untuk berlari? Ndhuk,
kau putri bunda satu-satunya, kesayangan bunda. bunda tak ingin saat ada
sesuatu terjadi denganmu, kau tak memiliki tempat untuk kembali. Seorang gadis,
sekuat apapun ia terlihat dari luar, ia tetap rapuh, ia harus punya tempat
untuk menenangkan pikiran dan menata hatinya saat dunianya kacau balau. Ibu hanya
ingin kau memiliki tempat itu ndhuk, dan dimana lagi yang bisa memberikanmu
kenyamanan selain di rumah yang kau tinggali sejak kecil? Tempatmu tumbuh besar
bersama bapak yang sekarang tinggal kenangan. Bunda inginn pergi bersamamu,
melihatmu mengejar mimpi-mimpimu, ada saat kau butuh belaian penuh cinta dari
bunda, tapi bunda tak ingin suatu saat nanti ketika bunda sudah tak ada, kau
tak punya alasan untuk kembali. Jika bunda meninggal saat bersamamu disana,
bunda tak bisa menjamin kau akan membawa bunda kesini dan memakamkan bunda
disebelah makam ayahmu, tapi jika bunda meninggal disini, di rumah ini, bunda
ingin kerinduanmu pada bunda yang menjadi salah satu alasan untukmu kembali ke
rumah ini ndhuk.” Panjang lebar sang bunda mengulangi apa yang sebelumnya
pernah dikatakannnya pada putri semata wayangnya sambil berlinang air mata,
putrinya diam, membeku karena tak pernah betul-betul mendengarnya. Ya, sang
bunda memang menceritakannya saat putrinya terlelap, jauh di alam bawah
sadarnya.
“bunda sudah tua ndhuk” lagi. suara
itu memecah konsentrasi putrinya yang terpaku, menyambungkan beberapa
saraf-saraf di otaknya dan mencoba mengulang perkataan bundanya yang baru saja
ia dengar.
“a..aku.. b..bagaimana bisa bunda
berkata seperti itu? Aku tak mungkin tak kembali. Tak mungkin. Bagaimanapun juga
ini rumah tempat bunda melahirkanku. Aku pasti kembali bunda. Ikutlah bersamaku.
Aku tak butuh temmpat untuk menenangnkan diri jika bunda bersamaku. Cukup bunda
saja. Cukup pelukan bunda yang membuatku kembali berdiri tegak. Bunda tahu akan
hal itu kan? Lantas mengapa bunda bersikeras untuk tinggal disini dan
membiarkanku pergi hanya karena bunda berpikir aku butuh tempat untuk kembali? Tidak
bunda. Aku sama sekali tidak butuh tempat untuk kembali selagi bunda bersamaku.
Lagipula, jika sesuatu terjadi pada kita nanti, aku akan berusaha kembali kalau
memang kita harus kembali. Rumah ini takkan kita jual bunda, hanya kita
titipkan pada paman dan bibi agar ada yang merawat. Bunda tahu kan yang
memberatkan langkahku adalah meninggalkan bunda bersama sepi disini?” runtuh
sudah dinding pertahanan yang sejak tadi ia bangun. Air matanya sudah menganak
sungai bersama dengan tubuhnya yang kini gemetar menahan perasaannya agar tak
lagi keluar bebas dan membuat bundanya semakin bersedih. Ia menghampiri
bundanya dan berlutut, memeluk kaki bundanya seraya berkata “hidup cuma sekali
bunda, aku ingin yang sekali itu tidak kubuat menjadi sia-sia hanya karena aku
tak bersama bunda saat aku bisa bersama bunda. Bunda bilang ingin dimakamkan
disamping makam bapak? Aku akan ingat itu seumur hidupku bunda. Jika tiba
saatnya nanti, walaupun dengan berlinang air mata, walaupun dengan pikiranku
yang kacau karena IA membawa pergi dunia ku, menghancurkan hidupku, aku akan
tetap mengingat pesan bunda. Akan kubawa bunda kembali kesini dan melaksanakan
apa pesan bunda. Aku berjanji aku takkan pernah melupakannya meskipun bunda
melupakannya. Aku berjanji walaupun aku tak bisa mengantar bunda, selama aku
masih tetap bernafas dan sadar, aku akan menepati janjiku bunda. Aku takkan
pernah mengecewakan bunda walaupun itu berarti aku kehilangan duniaku.” Habis sudah.
Ia keluarkan semua hal yang selama ini memeratkannya melangkah menggapai mimpi,
menunggu reaksi dari sang bunda yang wajah teduhnya tak berani ia lihat.
“ndhuk..” akhirnya sang bunda
membuka suara, membuatnya yang sedang tersungkur memeluk kedua lutut bundanya
mendongak.
“jangan pergi”
Untuk duniaku yang saat ini tak bisa kugenggam dengan nyata. Bundaku
yang kini perlu 3 jam untuk tiba di pelukannya. Rindu itu masih ada, namun kini
tersimpan rapi dengan gembok yang kuncinya kau pegang. Putrimu baik-baik saja,
sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar