Pages

Minggu, 14 Desember 2014

Bunda



Sapaan hangat sang mentari pagi ini membuatnya bimbang, pergi dan -dengan kemungkinan kecil- kembali, atau tidak pergi sama sekali. Ia masih berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke depan jalan yang aspalnya berwarna coklat. Ransel yang di sandangnya penuh, seakan berteriak “ayo pergi!” tapi hatinya masih gundah. Meninggalkan sang bunda sendirian membuatnya berpkir seribu kali untuk memutuskan pergi -atau tidak- menyebrangi samudera lalu mendarat di pulau yang tak pernah ia tapaki sebelumnya. Ia tahu sang bunda yang semalaman menangis karena dengan berat hati mengikhlaskan kepergian putri semata wayangnya, masih menangis di dapur dengan dalih membuat sedikit bekal untuk putri tercintanya. Mendekap liontin pemberian bapak yang sudah lama pergi membuatnya gamang. Pergi mengambil langkah untuk mimpi-mimpi besarnya ataukah tetap tinggal di rumah menemani dan membantu bundanya mengurus tempat penggilingan padi yang diwariskan sang bapak.
“ndhuk” panggilan sayang bundanya menggema di telinganya, membuat setitik air yang sejak tadi menggenang di pelupuk meluncur dengan bebasnya. Ia terpikirkan satu hal. Takkan lagi di dengarnya panggilan itu jika ia memutuskan untuk pergi.
“ini bekal untuk di jalan nanti, makannya saat kau sudah mulai terbiasa dengan kapal ya ndhuk, biar tidak mabuk laut.” Pesan sang bunda dengan suara serak. Ia masih tak berani berpaling ke belakang, takut sesuatu seperti ia dengan tiba-tiba memeluk bundanya -yang bengkak matanya karena tak berhenti menangis- sambil menangis meraung-raung mengatakan pada bundanya untuk ikut bersamanya atau tak membiarkannya pergi terjadi.
“bun, ikutlah. Biarlah kita titipkan rumah dan penggilingan pada paman dan bibi.” Jawabnya setelah hening menyelimuti jarak antara mereka. Ia bukan tak tahu alasan mengapa bundanya bersikeras tak mau ikut pergi ke jakarta. Ia tahu semingguan ia meyakinkan sang bunda untuk pergi sia-sia hanya karena bundanya tak ingin tak ada tempat untuknya kembali.
“bunda sangat ingin ikut ndhuk, tapi lihatlah apa yang sudah ditinggalkan bapakmu untuk kita? Tak ingatkah kau saat dulu dengan penuh tawa kau langkahkan kaki-kaki kecilmu untuk berlari? Ndhuk, kau putri bunda satu-satunya, kesayangan bunda. bunda tak ingin saat ada sesuatu terjadi denganmu, kau tak memiliki tempat untuk kembali. Seorang gadis, sekuat apapun ia terlihat dari luar, ia tetap rapuh, ia harus punya tempat untuk menenangkan pikiran dan menata hatinya saat dunianya kacau balau. Ibu hanya ingin kau memiliki tempat itu ndhuk, dan dimana lagi yang bisa memberikanmu kenyamanan selain di rumah yang kau tinggali sejak kecil? Tempatmu tumbuh besar bersama bapak yang sekarang tinggal kenangan. Bunda inginn pergi bersamamu, melihatmu mengejar mimpi-mimpimu, ada saat kau butuh belaian penuh cinta dari bunda, tapi bunda tak ingin suatu saat nanti ketika bunda sudah tak ada, kau tak punya alasan untuk kembali. Jika bunda meninggal saat bersamamu disana, bunda tak bisa menjamin kau akan membawa bunda kesini dan memakamkan bunda disebelah makam ayahmu, tapi jika bunda meninggal disini, di rumah ini, bunda ingin kerinduanmu pada bunda yang menjadi salah satu alasan untukmu kembali ke rumah ini ndhuk.” Panjang lebar sang bunda mengulangi apa yang sebelumnya pernah dikatakannnya pada putri semata wayangnya sambil berlinang air mata, putrinya diam, membeku karena tak pernah betul-betul mendengarnya. Ya, sang bunda memang menceritakannya saat putrinya terlelap, jauh di alam bawah sadarnya.
“bunda sudah tua ndhuk” lagi. suara itu memecah konsentrasi putrinya yang terpaku, menyambungkan beberapa saraf-saraf di otaknya dan mencoba mengulang perkataan bundanya yang baru saja ia dengar.
“a..aku.. b..bagaimana bisa bunda berkata seperti itu? Aku tak mungkin tak kembali. Tak mungkin. Bagaimanapun juga ini rumah tempat bunda melahirkanku. Aku pasti kembali bunda. Ikutlah bersamaku. Aku tak butuh temmpat untuk menenangnkan diri jika bunda bersamaku. Cukup bunda saja. Cukup pelukan bunda yang membuatku kembali berdiri tegak. Bunda tahu akan hal itu kan? Lantas mengapa bunda bersikeras untuk tinggal disini dan membiarkanku pergi hanya karena bunda berpikir aku butuh tempat untuk kembali? Tidak bunda. Aku sama sekali tidak butuh tempat untuk kembali selagi bunda bersamaku. Lagipula, jika sesuatu terjadi pada kita nanti, aku akan berusaha kembali kalau memang kita harus kembali. Rumah ini takkan kita jual bunda, hanya kita titipkan pada paman dan bibi agar ada yang merawat. Bunda tahu kan yang memberatkan langkahku adalah meninggalkan bunda bersama sepi disini?” runtuh sudah dinding pertahanan yang sejak tadi ia bangun. Air matanya sudah menganak sungai bersama dengan tubuhnya yang kini gemetar menahan perasaannya agar tak lagi keluar bebas dan membuat bundanya semakin bersedih. Ia menghampiri bundanya dan berlutut, memeluk kaki bundanya seraya berkata “hidup cuma sekali bunda, aku ingin yang sekali itu tidak kubuat menjadi sia-sia hanya karena aku tak bersama bunda saat aku bisa bersama bunda. Bunda bilang ingin dimakamkan disamping makam bapak? Aku akan ingat itu seumur hidupku bunda. Jika tiba saatnya nanti, walaupun dengan berlinang air mata, walaupun dengan pikiranku yang kacau karena IA membawa pergi dunia ku, menghancurkan hidupku, aku akan tetap mengingat pesan bunda. Akan kubawa bunda kembali kesini dan melaksanakan apa pesan bunda. Aku berjanji aku takkan pernah melupakannya meskipun bunda melupakannya. Aku berjanji walaupun aku tak bisa mengantar bunda, selama aku masih tetap bernafas dan sadar, aku akan menepati janjiku bunda. Aku takkan pernah mengecewakan bunda walaupun itu berarti aku kehilangan duniaku.” Habis sudah. Ia keluarkan semua hal yang selama ini memeratkannya melangkah menggapai mimpi, menunggu reaksi dari sang bunda yang wajah teduhnya tak berani ia lihat.
“ndhuk..” akhirnya sang bunda membuka suara, membuatnya yang sedang tersungkur memeluk kedua lutut bundanya mendongak.
“jangan pergi”




Untuk duniaku yang saat ini tak bisa kugenggam dengan nyata. Bundaku yang kini perlu 3 jam untuk tiba di pelukannya. Rindu itu masih ada, namun kini tersimpan rapi dengan gembok yang kuncinya kau pegang. Putrimu baik-baik saja, sungguh.