Pages

Jumat, 28 Maret 2014

aku tak mau tambah tua

Aku masih muda
Masih ingin memanjakan diriku dibawah rintik hujan yang turun bersamaan dengan kilat dan gemuruh yang bersahutan
Masih ingin bermain bersama cacing-cacing dalam lumpur
Ah, tapi sebentar lagi
Sebentar lagi umurku beranjak 20
2 tahun itu sebentar kan?
Tak terasa
18 tahun saja tak begitu terasa
Aku jadi ingat, ingat sesuatu tentang kita hanya hidup di dunia sekedar numpang lewat
Ya, benar-benar numpang lewat
Buktinya 18 tahun terlewat begitu saja
Kenangan pahit dan manis yang campur aduk pun masih terekam sangat jelas
Bisa diulang berkali-kali dalam memori
Balik ke topik awal
Aku benar-benar tak ingin jadi tua
Eh maksudku dewasa
Tapi tua juga aku tak mau sih
Cukuplah aku di usiaku yang 18 tahun ini sekarang
Aku tak ingin pusing-pusing memikirkan semua yang dipikirkan orang dewasa
Memikirkan suatu saat aku akan menjadi makhluk hidup tanpa senyum membuatku mual
Aku tak suka tak senyum!
Aku selalu senyum, nyengir
Tertawa malah
Dimanapun aku berada
Saat menangis pun aku sempatkan tertawa
Aku tak ingin jadi orang yang kaku
Kayak robot gitu
Tidak tidak tidak
Membayangkan seorang Rifdatun Nafi’ah yang 18 tahun hidupnya tak pernah seharipun tak tertawa menjadi seorang kaku bak robot membuatku pusing
Aduh serasa mau pingsan
Tapi sampai sekarang aku masih bingung
Mengapa orang dewasa selalu kaku seakan tak pernah jadi remaja dan tertawa terbahak-bahak sampai kehabisan nafas?
Mengapa mereka seolah-olah terlahir ke dunia ini langsung menjadi dewasa tanpa pernah memulai semuanya dari bayi?
Wajahnya seram
Jalannya tegak, terburu-buru
Heeei, santailah
Bukankah jika ketinggalan kereta masih ada kereta berikutnya?
Bukankah jika ketinggalan rapat masih ada rapat berikutnya?
Tak bisa begitu!
Yasudah tak usah membentak
Begitulah orang dewasa
Kita salah sedikit dibentaknya
Ingin rasanya bilang
“gue punya kuping dan bisa denger plus gak bolot keleees”
Atau teriak
“gue bukan babu loo! Jangan bentak-bentak!”
Atau sekalian melet dan melotot di depan mukanya yang seram
Tapi tak berani, hehehe
Namanya juga remaja, beraninya ngomongin di belakang
*Ups
Sudahlah, makin lama obrolan ini makin tak jelas
Syair ini pun jadi tambah panjang
memang ya, anak remaja kalau sudah ngobrol susah berhentinya
Apalagi kalau ngobrolin orang
*Ups lagi hoho
Udah udah, sekian aja deh
Eh yang tadi tentang orang dewasa jangan bilang-bilang ya
Kena damprat kita kalau ada orang yang ember bocor
Pamit ya
Sebagai muslim yang baik kalau pamit harus bilang?
Iyak betul

wassalamualaikum

sekolah(seharusnya)

Mayoritas anak Indonesia berada di bawah kekangan peraturan untuk belajar di sekolah. Sebagian dari mereka rela, tapi sebagian lainnya menderita.

Mereka terjebak dalam keegoisan orang-orang dewasa yang tidak mengerti dan mungkin tidak akan pernah mengerti. Belasan mata pelajaran yang diajarkan disekolah membuat mereka terbebani, puluhan peraturan yang diterapkan di sekolah lengkap dengan pengawas yang mendisiplinkan mereka membuat mereka lelah dan ingin segera mengakhiri pembelajaran. Mereka gembira sekolah, jika tanpa pelajaran yang membosankan, tanpa dipaksa duduk diam di bangku yang keras mendengarkan apa yg tidak mereka suka dan tak pernah mereka mengerti kenapa harus dipelajari. Mereka bahagia di sekolah tanpa puluhan peraturan yang membatasi gerak mereka yang penuh energi, mereka bahagia jika tanpa hukuman akibat tak melaksanakan perintah.

Mereka menunggu kapan tiba waktunya sekolah, bertemu dan bermain bersama teman-teman mereka, jajan di kantin dan makan bekal bersama, mereka bahagia melewatkan hari-hari di sekolah bersama guru-guru mereka yang baik dan ramah, mereka bahagia beajar dikelas dengan diiringi canda tawa dan nyanyian sesekali.

Sistem mengendalikan mereka, sistem yang dibuat orang-orang dewasa yang harusnya melindungi dan menyayangi mereka membuat mereka menjadi seperti robot. Harus bangun pagi-pagi, mandi, sekolah, pulang sore, mengerjakan tugas, tidur. Begitu setiap harinya sampai mereka lupa bahwa mereka masih anak-anak. Lupa bahwa tempat mereka di atas awan-awan putih yang lembut, lupa bahwa tempat mereka di negeri dongeng yang tiap harinya hujan permen!

Pekerjaan rumah yang di berikan guru-guru mereka membuat mereka kehabisan waktu untuk sekedar bermain bersama teman-teman mereka, membuat mereka kehabisan waktu untuk sekedar berkhayal tinggal di istana di atas langit.

Tak bisakah jika sekolah lebih menyenangkan daripada menonton tv atau bermain game di gadget terbaru di rumah?

Aku rasa bisa, bisa jika tak ada hukuman yang tak mendidik jika mereka tidak taat peraturan. Bisa jika semua guru tak bersikap seolah-olah mereka tahu segalanya dan anak-anak hanya anak kecil yang baru lahir kemarin dan tak tahu apa-apa tentang dunia. Selama ini mereka terkekang, selama ini mereka tak bebas berekspresi, selama ini mereka dihantui bayang-bayang orang dewasa yang siap menerkam jika mereka tak turuti sistem, tak turuti perintah.

mereka lelah! Jadi, bolehkah sekarang mereka berontak dan tentukan sistem untuk mereka sendiri?
Percayalah, mereka lelah diperlakukan seperti robot, seperti layaknya pembantu. Disuruh ini disuruh itu.
Bisakah kalian buat materi-materi pelajaran yang harus mereka pelajari menjadi sebuah permainan yang menyenangkan?

Karena bukankah tugas anak-anak adalah bermain walau tak setiap detik bermain? Bukankah dari permainan itu mereka akan belajar dengan sendirinya? Bukankah jika ada yang mereka ingin tahu, mereka akan dengan senang hati bertanya? Bukankah jika mereka ingin mempelajari sesuatu, tertarik akan sesuatu, mereka akan mempelajarinya sendiri, terus menerus? Bukankah jika mereka dibiarkan mempelajari apa yang mereka sukai, mereka akan ahli di bidangnya? Dan bukankah di masa depan nanti, kita membutuhkan orang yang ahli, bukan cuma yang bisa?


Ayolah, beri mereka sedikit kejutan. Agar dengan sendirinya mereka akan mengerti kalau hidup adalah perjuangan, dengan sendirinya, bukan dengan paksaan dari orang dewasa.

Senin, 24 Maret 2014

buatmu jah, bacalah :')

Aku kira semua akan baik-baik saja
Tapi ternyata tidak.
Dulu waktu nafas kita masih dalam ruangan yang sama, kita sama-sama berjanji untuk selalu bersama
Tapi aku berkhianat
Aku pergi, walau masih kembali
Tapi aku tak lagi bernafas bersamamu
Dulu kupikir kau berlebihan saat menuduhku berbohong
Karena jujur, aku tak ingin pergi
Tapi ternyata kau benar, aku memang pembohong
Kau juga pembohong
Kau bilang kita keluar bersama, pergi bersama
Tapi sekarang kau meninggalkanku
Tak kembali
Tanpa bilang padaku!
Dan akhirnya aku merasakan apa yang kau rasakan dulu saat aku pergi
Jah, maafkan aku yang dulu tak mencoba memahami perasaanmu saat aku melenggang pergi dari tempat itu, meninggalkanmu
Maafkan aku yang hanya bisa berjanji aku akan menginap tapi tak juga menginap
Aku rindu jah, rindu saat kita bersama-sama kelelahan menghafal
Rindu saat kita bersama-sama menangis
Maaf jah, maaf karena tak ada pelukan terakhir dari saudaramu yang menyebalkan ini
Maaf karena tak ada kepastian kapan kita bisa berjumpa lagi
Lukamu terlalu banyak jah, dan aku hanya bisa melihatmu jatuh
Menolongmu bangkit terlalu menyakitkan jah, aku tak ingin bersimbah airmata saat kuulurkan tanganku untuk membantumu berdiri
Aku tak ingin kau tahu aku merasakan kehilangan yang sama dengan yang kau rasakan
Aku tak ingin kau benar-benar tahu bahwa aku tak sanggup menjadi kuat dihadapanmu
Jah, aku rindu
Ingatlah selalu aku tak pernah sedikitpun tak memikirkanmu
Ingatlah selalu kau selamanya tetap saudaraku
Ingatlah jah, jika kau ingin menangis, panggilah aku..
Menangislah bersamaku jah
Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan untukmu
Semangat jah, selalu semangat
Suatu saat nanti, aku akan menghampirimu ke jambi
Memelukmu
Dan kita menangis bersama

Suatu saat nanti jah, saat dibelakang nama kita terselip “Al-Hafidzah”

harus mbak yang cari!

“mbak ayo beli martabaak” bocah kecil itu merajuk. Memaksa lebih tepatnya

“mbak capek dek, besok aja” aku tak bohong, aku benar-benar lelah. Akhir-akhir ini banyak kegiatan diluar yang menuntutku menguras tenaga.

“ahelah mbaaaaak. Ayook” nekat. Si cerewet itu malah mengenakan kerudungnya dan menyeretku bangun dari tempat tidur. Ya, malam itu kami di rumah hanya berempat. Aku, Irfan adikku yang kedua, Afif adikku yang ketiga dan Afnan adikku yang keempat satu-satunya adik perempuanku, Hafizh adikku yang pertama sudah balik ke pesantrennya di subang sedangkan Ummi dan Abi sedang ada acara di luar.

“ck. Emang kunci motornya udah ketemu?” aku berdecak sebal. Abi memang orang yang sembrono, dan sifat itu diturunkan padaku. Tadi sebelum Ummi dan Abi berangkat, kami berenam(walaupun aku Cuma membantu secara asal karena benar-benar lelah) sibuk mengobrak-abrik rumah mencari kunci motor Abi yang hilang entah kemana. Lupa katanya, penyakit lama yang senang kambuh-kambuhan dalam waktu yang sangat tidak tepat. Kunci motor itu tinggal satu-satunya, belum sempat dibuat duplikatnya. Terakhir kali dipakai ya sama Abi, mengantar irfan dan afif ke tukang cukur bakda ashar tadi. Seisi rumah sudah kacau balau dan pencarian terburu-buru itu berakhir tragis ytanpa hasil, dan akhirnya Ummi dan Abi berangkat menggunakan motor mio Ummi yang sudah tak layak pakai. Sampai sekarangpun irfan masih mencarinya, lihat saja. Bak cucian kotor sudah diaduk-aduk, tapi kunci motor Abi tak juga ditemukan. Duh, sebenarnya kasihan melihat adik-adikku yang menyebalkan mondar-mandir mencari kunci motor sedangkan aku leha-leha diatas tempat tidur, berkelana di timeline sampai akhirnya..

“mbak! Bantuin cari napa!” Afif ngomel, bocah yang satu ini memang paling rusuh dibandingkan dengan adik-adikku yang lain. Hiperaktif. Benar-benar mendapat nilai sempurna untuk adik paling menyebalkan sejagad raya.

“males. Mbak capek” kataku acuh tak acuh, biar saja. Toh aku tak mau martabak keju susu kesukaan bocah-bocah tengil itu, juga sedang tak dalam mood yang bagus untuk memasukkan lembar demi lembar rumput laut mama suka yang biasa kami beli ke dalam mulutku.

“mbak, ini harus mbak yang nyari.” Irfan buka suara. Tak biasanya adikku yang paling jenius ini berkomentar, tak biasanya ia membantah, menggangguku. Benar-benar tak biasanya.

“emang kenapa sih kalo Irfan sama Afif yang nyari? Mbak capek tau. Lagian sama aja kalo mbak yang nyari juga gak bakal ketemu. Orang tadi Abi sama Ummi udah nyari di semua tempat.” Aku akhirnya bangun dari tempat tidur, tak tega jika sudah Irfan yang merengek. Aku berpikir, dimana biasanya Abi menaruh kunci motor, langkah pertama aku beranjak ke lemari. Membuka pintunya, mengacak-acak tumpukan kertas yang sudah acak-acakan dan menemukan kunci itu. Aku jadi merasa bersalah, coba sejak tadi kugunakan akalku untuk menemukan kunci motor Abi. Pasti adik-adikku takkan kelelahan mencari seperti sekarang.

“ayok siap-siap, udah ketemu nih.” aku keluar dari kamar Abi dan Ummi sambil memamerkan kunci motor yang akan menyelamatkan keinginan mereka makan martabak malam ini.


“tuhkaaaaan, emang mbak yang harusnya nyari kunci itu. Buktinya langsung ketemu.” Seru Afnan riang. Ya, memang ternyata harus aku yang mencari kunci itu dan menemukannya karena aku si sulung, sulung yang harapan-harapan keluargaku banyak bergantung padaku J

Jumat, 21 Maret 2014

ratu yang terperosok ke selokan

Aku masih tak bisa mengerti bagaimana hidupku yang dulu kususun sedemikian rupa hingga aku yakin seratus persen tak ada sekecil apapun celah yang bisa membuatnya berantakan, dalam sekejap berputar tiga ratus enam puluh derajat.
Tak bisa dibilang hancur, tapi bisa dibilang sangat tidak sesuai rencana.  Sangat sangat sangat tidak sesuai rencana.
Aku pikir rencana yang kubuat akan menjadi takdirku, setidaknya salah satu dari rencana-rencana itu akan jadi sesuatu yang benar-benar akan kulakukan. Tapi pada kenyataannya, detik ini, aku menjalani sesuatu yang tanpa rencana. Sedikitpun tanpa rencana.
Oh maaf, aku bukannya mengeluh atau menyalahkan tuhanku atas takdirku, aku hanya berbagi. Berbagi kepada kalian yang belum pernah hidup tanpa rencana setelah kehilangan seluruh rencana-rencana yang menari-nari dalam kepala.
Aku dulu angkuh dan terlalu mencintai diriku sendiri.
Aku yang dulu tak pernah tak berhasil dapatkan apa yang aku inginkan.
Aku yang dulu selalu memandang remeh teman-temanku yang tak memperlihatkan taringnya kepadaku.
Aku yang dulu selalu mendominasi.
Aku yang dulu terlalu ambisius.
Aku yang dulu tak pernah mau mengalah jika menyangkut prestasi.
Dan semua sifat itu membuatku benar-benar diatas angin. Terbang setinggi-tingginya. Aku tak lagi punya harapan, yang aku punya adalah kepastian. Yang aku katakan akan jadi nyata. Yang aku pikirkan akan berubah jadi gerakan. Sungguh, benar-benar seperti tak punya tuhan untuk menggantungkan semua rencana-rencanaku. Aku dikuasai ego.  Dan itu menghancurkanku.

Awalnya aku tak sadar, ketika satu dari sekian banyak rencana ku gagal. Awalnya ku kira aku akan berhasil pada rencana ke dua atau ke tiga karena biasanya selalu begitu. Tapi ternyata tidak, sampai rencanaku yang terakhir, aku gagal. Kaget? Sangat! Dunia sekan mentertawakanku. Tuhanku menamparku! Keras! Sangat keras hingga aku terjungkal dan tak sanggup bangun untuk beberapa saat. Hingga akhirnya aku sadar, aku kalah. Pertama kalinya dalam hidupku aku kalah karena kebodohanku sendiri. Kekalahan besar! Menyangkut masa depanku yang harusnya sudah pasti sekarang. Aku menangis, bukan karena teman-temanku menang dalam pertempuran ini. Melainkan karena aku kecewa pada diriku sendiri. Kecewa karena tak sedari dulu aku sadar kalau aku sudah keterlaluan. Awalnya aku hanya ingin jadi gadis yang kuat. Gadis hebat yang kata-katanya selalu didengar oranglain. Tapi lama kelamaan hal itu jadi racun. Mematikan, sangat mematikan dan tak ada penawarnya selain kekecewaan. Dan sekarang, disinilah aku. Diterangi sinar dari laptop yang menyala ditengah ruangan gelap. Menulis. Menceritakan kebodohanku pada oranglain, dan menangisi diri sendiri. sang ratu telahy terperosok keselokan bersama dengan jubah kebesaran dan mahkota kebanggaannya!

Rabu, 12 Maret 2014

Hujan

Hujan
saat tepat untuk menceritakan semua keputusasaan
menangisi semua kesalahan
mengadu pada Sang Pencipta
Tapi hujan malam ini lain
lain karena tak ada hal baru yang diadukan
tak ada hal baru yang ditangisi
tak ada hal baru yang perlu diceritakan
Masih dengan keluhan yang sama
tangisan yang sama
keputusasaan yang benar-benar sama persis
Cinta
Cinta yang melebihi cinta pada Sang Pencipta
cinta yang melebihi cinta pada kekasih-Nya
cinta yang melebihi cinta pada sang empunya rahim yang ditinggali selama sembilan bulan
Cinta yang mengobrak-abrik segala cinta yang ada di hati
cinta yang karenanya dunia terasa segalanya
cinta yang penuh dengan tipu daya
Angan
Terbang tertiup angin begitu saja
hilang ditelan bumi
Seolah tak pernah dimiliki dan diinginkan
seolah benar-benar tak pantas menjadi kenyataan
Selalu begitu
berulang kali setiap waktu
Doa
Selalu terpatri dalam hati
selalu terucap dalam sepertiga malam
Doa yang penuh cinta dan angan
yang mengalun bagai nada-nada dalam hati
Doa untuk selalu dicintai
Doa agar semua angan terwujud


Senin, 03 Maret 2014

anak penjudi

Saat kau sempat mengeluh karena uang jajanmu kurang, lihatlah ayah-ayah yang sedang bertarung di meja judi
Bertarung dalam balutan kebodohan dan kemiskinan
Lalu bayangkan anak-anak mereka
Anak-anak yang hidupnya tergantung pada kartu-kartu setan
Anak-anak yang siang malamnya dihantui ketakutan akan kekalahan ayahnya
Anak-anak yang makannya dari uang haram hasil perjudian
Tumbuh besar dengan segala kenangan tentang kerasnya hidup di gubuk reyot dengan seorang ayah yang penjudi
Terlalu klise! Katamu
Tak sadarkah kau kalau hal itu benar-benar terjadi?
Sinetron! Umpatmu
Kau yang terlalu banyak menonton sinetron hingga hatimu mati!
Anak-anak seperti itu benar-benar ada, kau tahu?
Dan sebagian besar dari mereka berakhir tragis!
Bukan berakhir bahagia seperti di sinetron yang kau tonton!
Pernahkah kau merenungkan hidupmu?
Berada di tengah-tengah canggihnya teknologi yang semakin berkembang
Berada diantara orang-orang yang anti kekerasan, anti kebencian
Kau ditingkat atas, atau setidaknya rata-rata, ditengah
Tidak dibawah seperti mereka!
Kau berakhir sebagai sarjana, karyawan atau pengusaha
Tapi mereka?
Mereka berakhir sebagai pemulung, pengamen, pencopet, preman!
Pernah dengar human trafficking?
Ya, perdagangan manusia!
Sebagian dari mereka berakhir sebagai korban, yang di jual
Dan sebagian lagi berakhir sebagai Bandar, yang menjual
Saat tangisan mereka tak lagi mengeluarkan suara dan air mata
Saat hati mereka tak lagi bisa merasakan sakit
Kau asyik duduk di depan televisi menonton sinetron favoritmu!
Tak pernah tak makan karena tak ada makanan

Apalagi sampai mati terlindas waktu, tergilas roda kehidupan!