Pages

Selasa, 13 September 2016

Kalau Kita Selalu Ingat Allah

Kalau kita selalu ingat, gak akan ada kata kata "aku lupa shalat"
Kalau kita selalu ingat, gak akan ada kata kata "coba tadi aku..."
Kalau kita selalu ingat, gak akan ada kata kata "kemarin aku gak tilawah sama sekali"

Allah, gak butuh kita. Kita yg butuh Allah.

Tapi

Kok kita yang lupa?
Lupa sudah shalat atau belum.
Lupa sudah sedekah atau belum.
Lupa sudah tilawah atau belum.

Dekat sama allah, itu suatu kenikmatan, harusnya.
Indikatornya, ya, ketenangan batin.
Kalau belum tenang, belum adem, ya, berarti lagi jauh dari allah. Ya, raganya, ya, hatinya, ya, dua duanya.

Hidup kita, kan sudah allah tentukan jalannya. Tinggal kitanya, mau pilih jalan yang mana. Yang menuntun kita ke neraka, atau yang mendekatkan kita ke surga. Cara taunya? Ya dengan memilih jalan yang mendekatkan kita kepada Allah. Bukan malah sebaliknya.
Kayak gini aja, kamu mau ke tanah abang tapi keukeuh naik kereta yang ke jakarta kota dan gak mau transit di manggarai untuk ganti kereta padahal kamu tahu kamu gak akan bisa sampai stasiun tanah abang kalau kamu naik kereta yang ke arah jakarta kota. Katamu, biar keajaiban yang membawa saya ke stasiun tanah abang. Kamu bosan hidup?

Lha wong yg sudah jadi penghuni kubur aja setengah mati minta dihidupkan lagi cuma demi memperbanyak ibadah, memperdekat diri dgn Allah. Kenapa kamu yang masih hidup malah menyianyiakan kesempatan untuk dekat sama Allah? Akal kamu sehat engga?

Quran kamu, bukan jimat yang dengan kamu diemin gitu aja di laci, kamu biarin berdebu, terlupakan, bisa ngelindungin kamu.
Yang bisa ngelindungin kamu itu, cuma Allah. Mendekat sama Allah dgn banyak banyak tilawah, baru quran kamu bisa ngelindungin kamu.
Quran kamu, bukan dompet anti tuyul yang dengan kamu nyelipin 100 ribuan di dalamnya, tuyul gak akan bisa nyolong duit kamu.
Yang bisa ngelindungin kamu dari dunia pertuyulan, cuma Allah. Minta sama Allah. Lewat apa? Doa.
Bukan malah ngerasa gak berdosa gitu dgn minta perlindungan kepada selain Allah.
Allah, sayang sama kamu. Makanya kamu dikasih tempat tinggal di indonesia. Yang adzan dari subuh sampai isya masih mampir di telinga kamu. Harusnya kamu sadar!
Kalau di hati kamu masih ada Allah.
Jadi baik itu, bukan pencitraan kepada manusia, ukuran baiknya bukan dinilai oleh manusia, dan yang memberikan ketentuan baik atau tidaknya juga bukan manusia tapi Allah.
Kalau Allah saja sudah cukup bagimu, maka akan Allah cukupkan segala kebutuhanmu.
Lalu apa?
Apa yang kau cari di dunia ini selain manisnya iman dan lezatnya mendekat padaNya?

Jumat, 05 Agustus 2016

Sandaran (bukan bangku)

Wajar, kalau tiap manusia butuh manusia lain untuk jadi sandaran.
Manusia lain yang lebih kuat, lebih mampu, untuk melihat lemah dan sedihnya.
Wajar.
Wajar kalau tiap manusia, punya rasa takut yang harus dibagi, pada tempatnya bersandar.
Sandaran itu, ya, seperti rumah.
Atau mungkin, malah kamar.
Walaupun bentuknya manusia, diamnya, teduhnya, rahasianya, sama seperti dinding kamar yang kalau kita menangis di dalamnya, meronta bahkan berteriak tertahan, tak akan ada yang tahu.
Sandaran, sama.
Sandaran, ya, rumah. Tempat pulang.
Bantal. Tempat menumpahkan air mata.
Juga tisu. Untuk menghapus air mata.
Sandaran, ya, harus lebih kuat dari yang bersandar.
Agar yang bersandar tak serta merta terjengkang saat menyandar.
Sebetulnya ada, sandaran yang paling kuat.
Tapi beberapa manusia terlalu sok tahu untuk memilih sandarannya sendiri. Ya, silahkan.
Kuberi tahu satu hal saja tentang sandaran terkuat itu, IA.
Yang dunia dan segala isinya, pun mampu IA berikan padamu hanya dengan bersandar padaNya selama 2 rakaat, sebelum shalat subuh.
Tapi dasar kita terlalu bodoh.
Sandaran sekuat itu, kita abaikan.
Lantas kita cari sandaran lain yang juga bersandar pada seseorang lain yang juga bersandar pada orang lain yang bersandar pada orang lain yang begitu seterusnya. Kita bersandar pada orang lain yang bersandar pada orang lain.
Tapi wajar, wajar jika manusia ingin manusia lain sebagai sandaran.
Wajar, jika manusia ingin setidaknya ada seorang manusia yang tahu bahwa matanya berair. Bahwa lututnya lemas dan jemarinya gemetar.
Bahwa pikirannya buntu dan hatinya luruh, redam, remuk.
Wajar.
Wajar, jika manusia ingin bersandar pada bahu, atau pundak, bahkan punggung, seseorang yang lebih kuat darinya.
Wajar.

Rabu, 27 Juli 2016

Aku, kau anggap apa?

"selama ini, aku sendiri. Semuanya kukerjakan sendiri. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, aku sendirian"
Ucapmu.
Entah agar ada yang mengasihanimu.
Entah agar mereka semua tahu kau berjuang.
Atau, entah hanya agar hilang sesak di dadamu.
Lalu,
Aku yang selama ini merekat padamu,
Kau anggap apa?
Aku melihatmu berjuang, kemudian memintamu melibatkanku.
Kau menolak.
Aku saja, katamu.
Aku berdebar melihatmu pontang panting, kemudian tanpa bertanya, membantumu.
Kau diam, tanpa senyum, tanpa terima kasih.
Tidak, aku bukan pengemis terima kasih.
Aku hanya,
Selama ini kau anggap aku apa?
Aku berpeluh datang saat kau memintaku.
Tapi kau tak peduli tentangku.
Kau hanya,
Ah.
Kau malah bertanya padaku tentang mereka.
Yang harusnya kau tahu.
Jika kaupun tak tahu mereka di mana, bagaimana aku bisa tahu?
Kau anggap aku apa?
Aku tidak memintamu memohon kepadaku untuk membersamaimu, tidak.
Aku, akan dengan otomatis ada saat kau memintaku.
Tapi mungkin karena itu.
Mungkin karena aku selalu ada untukmu maka kau tak lagi menganggapku seperti kau menganggap mereka.
Tidak, aku tidak akan menghilang, ngambek seperti bocah sd minta dibelikan mainan.
Aku hanya akan menghilangkan senyum dari wajahku.
Mempersingkat bicaraku.
Dan dengan senang hati tak lagi tertawa pada leluconmu, walaupun itu lucu.
Aku bukan ngambek.
Aku hanya tak lagi berminat mendermakan kebahagiaanku padamu.
Aku tak butuh terima kasih, sebenarnya.
Lebih butuh senyummu, lebih butuh bicaramu, tentangku.
Aku, yang karena tanggung jawabku harus selalu ada membersamaimu.
Aku butuh diakui.
Iya. Salah? Kalau menurutmu salah, pantas saja.
Karena menurutku, itu hakku.
Hakku yang aku berhak memintanya darimu karena sudah melaksanakan kewajibanku padamu.
Sudahlah,
Aku sudah kadung kehilangan bahagiaku yang dulu kutahan agar tetap bersinar di kedua kelopak matamu.

Selasa, 26 Juli 2016

Hening

Bersama malam, kuantarkan rindu padamu.


Ummi.
Aku butuh dikuatkan peluk dari kedua lenganmu.
Abi.
Aku jatuh, lagi. Terluka, lagi. Berdarah, lagi.
Sulit, mi.
Mengembangkan senyum sambil tertusuk pisau.
Aku berair mata, bi.
Dilimpahkan segala kesulitan pada pundakku, aku tak sanggup.
Ummi, abi.
Aku ingin pulang.
Ingin dibelai kepalaku, dikuatkan abi.
Ingin dicium keningku, dibuat tangguh ummi.
Aku kehabisan energi menguatkan dan menegarkan, ummi.
Apa abi tak pernah merasakannya?
Kalau pernah, aku tak percaya.
Tak pernah habis energi abi membuatku menjadi gadis kuat.
Tak pernah habis nyala mata ummi membuatku menjadi gadis sekeras ini.
Ummi, abi.
Apa seorang sulung tak boleh melemah?
Apa seorang kakak tak boleh bersandar?
Apa seorang pemimpin, tak boleh berderai air mata karena kelelahan memikul tanggung jawab?
Kalau tidak, tak apa.
Asal ummi dan abi ada.
Ada untuk mencegah sulungmu melemah, jatuh lalu menangis.
Tak apa kalau tak boleh bersandar.
Asal ummi dan abi melihat.
Melihat kaki sulungmu yang berlari, agar ia tak tersandung satu dengan yang lainnya.
Tak apa kalau tak boleh basah mataku.
Asal ummi dan abi bersuara.
Untuk sekedar menjadi pengingat bahwa uhibbuki fillah yang ummi dan abi bisikkan itu nyata. Bahwa kuat dan mampu yang ummi abi katakan itu memang aku.
Ummi, abi.
Tapi sulungmu tetap ingin pulang.
Sudah habis kuatnya, sudah lelah hatinya.
Ummi, abi.
Ummi.
Abi.

Kamis, 23 Juni 2016

Buat kamu!

Eh, kamu!
Kalau akhirnya waktu mempertemukan kita nanti, jangan jatuh padaku karena wajahku, ya!
Karena aku gak mau bikin kamu gak nyaman kalau pas kita bareng2 nanti, wajah aku tiba tiba penuh jerawat.
Jangan juga jatuh padaku karena badanku yang sangat langsing ini, ya!
Karena aku gak mau kamu bangun dari jatuhmu padaku, kalau nanti pas kita udah bareng2, aku berubah jadi teddy bear super besar, mendekati bigfoot.
Eh, kamu!
Jangan sayang sama aku karena sikapku yang kamu lihat manis, ya!
Karena aku gak mau sayang kamu berkurang kalau nanti, tiba2, misalnya, sifat aku yang kayak reman tiba2 muncul di depan kamu.
Jangan juga sayang sama aku karena orangtuaku yang luar biasa keren, ya!
Karena itu orangtuaku. Aku? Bisa jadi lebih keren! Canda!!
Eh, kamu!
Jangan ngebet minta aku dari abi, ya!
Karena aku masih jaaaauuuuuhhhh dari kata layak buat ninggalin abi dan ummi di tangan adek2ku yang rese.
Jangan juga ngebet minta aku dari abi karena kamu butuh dilayanin, ya!
Karena aku biasa dilayanin. Sama 4 orang kurcaci yang nurutin semua kata mbaknya. Aku gak mau kamu kecewa karena aku gak berbakat ngelayanin orang :')
Eh, kamu!
Jangan berani2nya datang ke rumah kalau pengalaman hidup kamu bakal selesai kamu ceritain ke aku dalam waktu kurang dari 1 tahun, ya!
Karena please, aku gak mau denger cerita yang itu2 aja, sayang :(
Jangan berani2nya kamu datang ke rumah kalau kamu pikir kamu kaya akan ilmu, ya!
Karena semakin kamu ngerasa begitu, semakin semua orang tau kalau kamu miskin ilmu dan aku bisa sedih kalau kamu direndahin orang, hmm.
Eh, kamu!
Gak usah bilang kalau kamu rindu sama aku, ya!
Aku gak suka sesuatu yang cheesy dan gak realistis. Kita belum pernah ketemu loh. Kamu juga gak tau aku nyebelin banget. Gak ngangenin sama sekali. Aku gak mau kamu nyesel~
Gak usah bilang kamu kangen terus kamu umbar2 di medsos terus pake aplotan gambar yang air mata air mata itu, ya!
Aku bisa huek mendadak :(
Eh, kamu!
Yang kuat, ya!
Lebih kuat dari gabungan kekuatan abi dan 3 adikku. Soalnya aku biasa dapet perlindungan maha aman dari mereka. Dari doa doa mereka.
Yang tabah, ya!
Lebih tabah dari abi dan ummi aku yang entah mimpi apa punya anak sulung kayak aku :( aku jd sedih kalo inget betapa aku nyusahin mereka
Eh, kamu!
Kalau akhirnya, nanti waktu mempertemukan kita, jagain aku ya biar aku gak malu2in kamu.
Jagain aku dari bencong bencong dan orang gila orang gila yang bertebaran di luar sana.
Ngga, aku gak takut. Aku cuma menghindari segala jenis kemungkinan diserang mendadak sama mereka.
Kalau nanti, akhirnya bumi melemparkan kita berdua pada satu tempat, tuntun aku, ya!
Biar aku gak tersesat dan tak tahu arah jalan ke surga.
Tuntun aku biar bisa jadi wajah kamu lagi di surga nanti.
Eh, kamu!
Yang sabar, ya!
Aku bakal nyusahin kamu banget. Lebih dari yang kamu bayangin pokoknya. Yang kuat, ya :')
Sabar, ikhlas, ya!
Ada banyak hal yang aku gak peka, ada banyak hal yang bisa bikin aku ngamuk tiba2, ada banyak hal yang sering aku lupa. Kamu harus bisa, ya, jadi pengganti abi :)
Eh, kamu!
Aku banyak maunya, aku aneh, aku rese, lawakan aku garing kayak rengginang, suara aku cempreng, aku suka tidur, aku gak suka makan, aku masih ngayal biar bisa terbang( maafin aku :( ), aku suka banget ngomong sendiri. Pokoknya intinya aku gak kayak orang kebanyakan. Jangan kaget, ya!
Ohiya.
Aku gak akan nunggu kamu. Jadi gak usah terbebani, ya. Jalani apa yang mau kamu jalani sendiri. Aku percaya segala gala gala keputusan langit. Takdir. Dan lagi, kita tak serendah itu, untuk memaksa langit mempercepat pertemuan kita, bukan?

Jumat, 08 April 2016

Pergi <5>

Sekali ini saja, biarkan aku menyelamatkan hatinya.
Biarkan aku membantunya membuat pelangi.
Sekali ini saja, biarkan aku memalingkan pandanganmu dari wajahku.
Membuatmu menoleh ke belakang dan melihatnya.
Bidadari yang berpeluh membantumu menggapaiku dengan mengabaikan keinginannya memilikimu.

Sekali ini saja.
Biarkan aku saja yang pergi.

Kamis, 07 April 2016

Pergi <4>

Terima kasih.
Karena kau melepaskanku, aku bisa bernafas lebih leluasa sekarang.
Dan, maaf.
Aku tak lagi bisa menggenggam jemarimu.
Menuntunmu melewati jalanmu.
Kita akhirnya bertemu persimpangan.
Persimpangan yang mengharuskanku melepas genggaman tangan kita, dan berjalan berlawanan arah denganmu.



Aku tahu kau menyembunyikan tangismu.
Menidurkan mimpimu untuk membersamaiku mengejar mimpiku.
Aku tahu genggaman tanganmu makin lama makin mengendur, beriringan dengan mimpimu yang tak lagi bisa kau buat tertidur.

Aku tahu nafasmu tertahan.
Menyakitkan mendengarnya, kau tahu?
Menyesakkan mengetahui bahwa kau begitu mencintaiku hingga kau tahan tangismu, kau penjarakan mimpimu.



Terimakasih.
Membiarkan air mataku tak lagi menetes.



Aku tahu kau menatapku tiap aku terlelap.
Mencari celah agar kau bisa pergi tanpa membuatku merasa kehilangan.

Kau membuatku hidup
Juga membunuhku perlahan



Terima kasih.
Telah membiarkanku menumbuhkan sayapku
Lalu terbang.



Aku akan membiarkanmu pergi.
Agar kau tak lagi membunuhmu.
Agar kau tak lagi membunuhku.
Tanpa sadar.



Terima kasih.
Aku pergi.

Rabu, 06 April 2016

Pergi <3>

Dari sekian banyak rupa, kenapa milikmu yang membuatku jatuh?

Kenapa tubuhmu yang tersiram hujan, yang membuatku ingin memayungimu?

Kenapa senyummu yang terlukis bukan untukku, yang membuatku mengarahkan pandanganku padamu?


Dari sekian banyak warna, kenapa warnamu yang membuatku bertransformasi menjadi pelangi?


Pertanyaan tertahan tanpa menghasilkan jawaban.

Aku jatuh padamu. Namun untuk memintamu melihat bahwa aku jatuh, bukan aku.

Maka demi harga diriku, aku bangun dari jatuh yang tak seorangpun tahu.

Membasuh lukaku kemudian tersenyum, lagi, kala menatap matamu.

Membuatmu tak mencurigaiku, membuat yang lain tak melihat lukaku yang belum sembuh.

Aku berdebar. Tapi debarnya seirama dengan otakku yang terus menerus berpikir.


Aku jatuh di tempatmu, namun kau jatuh bukan di hadapanku.

Daripada membuatmu bangun dari jatuhmu untuk jatuh kepadaku, aku mengerti.

Lebih baik aku yang bangun dari jatuhku agar kau tetap jatuh di tempatmu.

Agar kau, tetap bahagia dengan jatuhmu.


Lebih baik aku yang bangun dan menyadari bahwa lukaku berdarah.

Selasa, 05 April 2016

Pergi <2>

Aku masih mengingat kecupan pertama saat aku pergi.
Meninggalkan buaianmu, menjauhi hangatmu.
Kau yang dulu sempurna berkata jangan, kini sempurna memintaku pergi.
Mengejar angan yang tak sedikitpun ada milikmu di dalamnya.
Meniti harap yang tak setetespun karenamu.

Aku masih mengingat peluk terakhir sebelum akhirnya aku pergi.
Wajahku tak lagi menjadi sarapanmu tiap pagi
Suaraku tak lagi jadi lagumu tiap hari

Aku masih merasakan cinta yang kau tinggalkan dalam ranselku.
Menjagaku tetap hidup
Menjagaku tetap bahagia

Tak. Tak pernah ada buai yang senyaman milikmu.
Tak pernah ada lagu yang seindah lagumu
Tak pernah ada rasa yang selezat rasamu

Kita sama-sama tahu
Aku tak ingin pergi
Dan kau
Tak ingin aku pergi

Tapi kemudian cinta yang lebih besar datang
Karena bahagiamu tanggung jawabku
Dan bahagiaku tanggung jawabmu
Karena tanggung jawab itu, aku pergi
Dan kau membiarkanku pergi karena alasan yang sama

Perginya aku, meninggalkan ruang kosong dalam hatimu
Sama sepertiku

Ruang kosong yang biasanya terisi lagu-lagu indah tanpa henti
Ruang kosong yang biasanya meluap oleh bahagia karena tawamu
Ruang kosong yang biasanya penuh cinta

Pergi.
Dengan cinta yang masih tinggal dalam buaimu tanpa ragaku

Minggu, 03 April 2016

Pergi <1>

Walau habis nafasku, aku takkan pernah memintamu kembali. Tidak untuk sekarang, tidak juga untuk selamanya. Ya, hingga habis nafasku.

Bukan aku tak pernah mengerti kemana kisah ini berpulang. Bukan juga berarti aku tak menggunakan benda kecil dengan triliyunan saraf yang tersambung di kepalaku dengan baik.

Bukan.

Aku hanya tak mampu melihat segala hal yang kau jadikan alasan untuk meninggalkanku.
Meninggalkan kita dan berpaling tanpa menoleh padaku.

Aku tak pernah bisa menjadi sekuat yang kau minta. Aku tak pernah bisa memimpinmu. Aku tak pernah bisa melenyapkan lemahku dan mencari kuatku yang melebihimu.

Katamu.

Lalu dengan matamu yang penuh genangan mengalir yang kemudian segera kuhapus, aku memelukmu tanpa kau rasa dan menendangmu jatuh.

Ya, kau memiliki hatiku bersamamu tapi aku, masih menempatkan otakku pada kotak kaca di dalam kepalaku.

Ketimbang mengambil hatiku yang kau bawa pergi, aku akan mempertahankan akal sehatku.

Bukan karena kau tak mampu maka kau menyerah untuk melebihi hebatku.

Melainkan karena, melebihi hebatku terlalu membunuhmu.
Hingga akhirnya kau menyerah dan melaporkan ketidakmampuanmu dengan meninggalkanku.

Dan aku, tak bisa menerimanya.

Hingga akhirnya kau memilih tak lagi menoleh ke belakang saat kau melarikan diri dariku.

Aku mengerti.

Kau tak lagi memilih tinggal.

Jadi pergilah tanpa sesal.
Sekali lagi, pergilah tanpa sesal.

Karena aku, takkan mengijinkanmu kembali.

Selasa, 16 Februari 2016

STORY BLOG TOUR OWOP EPS.2: PENARIK KERAH BAJU

Kalau kau bilang menjadi wartawan merupakan pekerjaan yang menyenangkan, kau salah besar! Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan-beserta pertanyaan cadangan- yang harus kau pikirkan masak-masak agar berita yang kau buat sempurna, mengejar narasumber yang mendadak menjadi sok penting, me-reschedule jadwal pertemuan dengan narasumber karena alasan sepele, dikejar deadline artikel, dan segudang masalah lain yang tak bisa dijabarkan satu persatu. Menjadi wartawan, apalagi wartawan skala nasional dengan jam terbang yang bisa kau bilang sangat tidak manusiawi, akan mengambil beberapa persen dari kewarasanmu dan memunculkan sedikit korsleting saraf-saraf di otakmu.

-0-0-0-0-0-

“DIBAAAA!!! LO KENAPA SIH SUKA BANGET NARIK KERAH BAJU ORANG?!!!” udah beribu-ribu kali gue denger kalimat itu. Dan kali ini, kalimat itu keluar dari mulut bocah paling tablo sedunia, Revan.

“heh, gue pernah bilang kan sama lo? Jangan pernah jalan di depan gue karena gue gak suka orang yang jalannya lelet kayak elo! Minggir, lo!” dasar tulalit! Emang ya otak orang kelewat pinter itu beda banget sama otak orang yang berusaha pinter. Gue kan udah bilang berkali-kali kalau gue gak suka liat penampilannya yang kayak orang katro. Kacamatanya, sepatunya, celana bahannya. DUH!

-0-0-0-0-

Audiba Dinianty
Namanya cantik, wajahnya juga cantik. Sayang seribu sayang, kelakuannya kayak preman pasar. Ganas. Bukan sekali dua kali dia berani ngerendahin harkat dan martabat gue sebagai cowok brilian yang harusnya masuk jurusan kedokteran tapi malah nyasar di jurusan jurnalistik. Gue ingat banget, waktu pertama kali masuk kampus. Pas ospek, dia narik kerah baju kakak tingkat dari belakang sampai bajunya sobek dan bahu kakak tingkat itu terekspos kemana-mana dan bukannya minta maaf, dia malah ketawa ngakak sambil ngasih pulpen ke kakak tingkat itu. Setelah jadi mahasiswa gue baru tau ternyata dia Cuma mau ngembaliin pulpen kakak itu. Yang gue heran, kenapa harus narik kerah baju, DIBAAA?!

“blo, lo gak bosen belajar mulu?” nyamperin gue yang lagi duduk di kantin sambil baca-baca artikel, enak banget dia main seruput es jeruk gue. Manggil gue tablo tanpa rasa bersalah.

“dib, lo kenapa sih narikin kerah baju orang mulu? Gak bosen?”

“yeee gembel lu. Ditanya balik nanya. Emang kenapa kalo gue suka narikin kerah baju orang? Masalah buat lo? Buat keluarga lo? Buat masa depan lo?” kan kaan kaaann. Mulai lagi. satu hal lagi yang gak gue suka dari Diba adalah tempramennya yang kelewat parah. Penyakit darah tinggi yang diakumulasi kepribadian koleris. Senggol bacok aja bawaannya.

“sabar, dib. Orang sabar disayang Allah. Gue kan Cuma nanya, kalo lo gak mau jawab, yaudah gapapa kok.” Setengah sadar, gue nyodorin es jeruk gue biar dia adem. Malu juga diliatin seisi kantin gara-gara teriakan Diba yang kayak geledek di siang bolong.

-0-0-0-0-0-0-0-0-

“mbak Dib, deadline artikel mas Revan lusa ya!” Rena teriak dari mejanya.

Membuyarkan lamunanku tentang masa-masa kuliah dulu. Revan. Dari sekian banyak penulis bestseller yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini, KENAPA HARUS REVAN?!! Kenapa harus Revan yang aku wawancara gustiiiii. Dari sekian banyak wartawan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tersayang ini, KENAPA HARUS AKU?!! Gak cukup kah penderitaanku di masa lampau? Siapa pula yang sudi ketemu sama mantan suami yang kau ceraikan gara-gara kesalahpahaman? SIAPA?!!!

“ARGGH!!”

“ASTAGHFIRULLAH”

“MBAK DIBAAAAA!!! Jangan tiba-tiba teriak kayak orang kesetanan dong mbak!” si cempreng Rena ngamuk. Padahal aku gak bermaksud untuk mengeluarkan teriakan maut itu tapi apa daya, sudah terlanjur keluar.

“keceplosan, Ren. Sowry.” Ucapku sambil nyengir. Membuat Rena menggelengkan kepala sambil memegang kerah bajunya. Aku tahu itu trauma. Waktu pertama kali masuk kantor, bocah itu pernah dengan sengaja kupanggil dan kutarik kerah kemejanya sampai membuatnya ambruk ke lantai kantor.  Posisi jatuh duduk. Terbaiks.

“narsum lo reschedule, Dib?” Tio, si culun maniak perangko itu menyapaku.

“narsum? Enggak kok. Ngapa emang?”

“sekarang pukul 3, Audiba Dinianty. Kecuali lo reschedule jadwal wawancara lo, gue yakin seyakin gue yakin sama Allah kalo lo udah terlambat wawancara, sweetheart.”

“OMAYGAT OMAYGAT OMAYGAT!!!!” tanpa ba bi bu aku langsung menyambar ransel dan topi hitam serta masker kesayanganku, seketika teringat soundtrack kartun kesukaanku waktu kecil dulu.

Lari lari lari (lari lari lari) tendang dan berlari, berjuanglah Tsubatsa, pahlawan kita..

Tulisan ini merupakan tulisan yang dibuat dalam rangka STORY BLOG TOUR One Week One Paper.
Episode 1: Ketika Adiba Kembali - Tutut
Episode 2: Penarik Kerah Baju - Rifdah
Episode 3: masih coming soon dan akan terbit dari web Rias

HAPPY READING!!!

Jumat, 15 Januari 2016

LUKA



Kamu melukaiku
Aku yang sampai perih hati ini menahan rindu
Menunggumu
Kamu menyakitiku
Katamu, kau tak akan pergi jika aku tak memintamu pergi
Tapi kau pergi, saat aku memintamu tetap tinggal
Kau tahu yang lebih membuatku terluka?
Kau tidak pergi menuju-Nya
Kau, pergi menuju dekapan gadis lain
Yang bahkan tak ada apa-apanya bila disandingkan denganku
Kau pergi
Saat aku sedang mencoba menjadi ibu bagi anak-anakmu kelak, sampai berdarah
Aku butuh wanita, bukan ibu, katamu
Padahal aku ingat jelas
Sangat jelas sampai berulang kali terputar dalam otakku tanpa kuminta
seperti kaset rusak
Kau dulu bilang bahwa
Kau mencari ibu untuk anak-anakmu
Karenanya, kau memberanikan diri mendekati aku yang liar seperti singa
Aku butuh orang yang padanya aku juga bisa pulang
Aku butuh wanita yang kuat sepertimu
Tunggu aku
Sebentar saja
Aku akan menjemputmu
Katamu
Tapi kemudian kau menghilang seolah ditelan lautan
Dan kembali dengan seorang wanita yang kau sebut sebagai cinta
Lalu aku?
Aku hanyalah rumah lamamu yang sudah tak layak huni
Oh, bukan
Aku hanyalah rumah lamamu yang sekarang terlalu bagus untuk kau huni
Yang tagihan listrik dan airnya, perawatannya, kenyamanannya, tidak sanggup lagi kau bayar
Karenanya
Kau memutuskan untuk pergi. Pindah
Ke rumah yang lebih jelek
Yang hanya bisa melindungimu dari hujan dan panas
Maka untukmu
Kuucapkan selamat tinggal
Dan camkan bahwa
Aku takkan pernah memintamu kembali
Takkan pernah membiarkanmu kembali padaku
Walau kau layak kembali padaku
Walau kau memohon sampai habis suara dan air matamu
Walau kau membuat matamu buta agar kau hanya bisa melihat dan mengingatku
Walau kau membuat telingamu tuli agar satu-satunya suara yang kau ingat adalah suaraku
Aku
Akan berdiri di puncak gunung tertinggi
Melihatmu dari sana
Dan mengatakan padamu dengan lantang
Aku telah menghapus namamu dari hidupku
Membakar habis kenangan yang pernah kita miliki
Karena kau, tak layak untuk menjadi pendampingku
Aku singa
Tapi kau hanya seekor domba yang memainkan peran sebagai serigala