Pages

Jumat, 05 Agustus 2016

Sandaran (bukan bangku)

Wajar, kalau tiap manusia butuh manusia lain untuk jadi sandaran.
Manusia lain yang lebih kuat, lebih mampu, untuk melihat lemah dan sedihnya.
Wajar.
Wajar kalau tiap manusia, punya rasa takut yang harus dibagi, pada tempatnya bersandar.
Sandaran itu, ya, seperti rumah.
Atau mungkin, malah kamar.
Walaupun bentuknya manusia, diamnya, teduhnya, rahasianya, sama seperti dinding kamar yang kalau kita menangis di dalamnya, meronta bahkan berteriak tertahan, tak akan ada yang tahu.
Sandaran, sama.
Sandaran, ya, rumah. Tempat pulang.
Bantal. Tempat menumpahkan air mata.
Juga tisu. Untuk menghapus air mata.
Sandaran, ya, harus lebih kuat dari yang bersandar.
Agar yang bersandar tak serta merta terjengkang saat menyandar.
Sebetulnya ada, sandaran yang paling kuat.
Tapi beberapa manusia terlalu sok tahu untuk memilih sandarannya sendiri. Ya, silahkan.
Kuberi tahu satu hal saja tentang sandaran terkuat itu, IA.
Yang dunia dan segala isinya, pun mampu IA berikan padamu hanya dengan bersandar padaNya selama 2 rakaat, sebelum shalat subuh.
Tapi dasar kita terlalu bodoh.
Sandaran sekuat itu, kita abaikan.
Lantas kita cari sandaran lain yang juga bersandar pada seseorang lain yang juga bersandar pada orang lain yang bersandar pada orang lain yang begitu seterusnya. Kita bersandar pada orang lain yang bersandar pada orang lain.
Tapi wajar, wajar jika manusia ingin manusia lain sebagai sandaran.
Wajar, jika manusia ingin setidaknya ada seorang manusia yang tahu bahwa matanya berair. Bahwa lututnya lemas dan jemarinya gemetar.
Bahwa pikirannya buntu dan hatinya luruh, redam, remuk.
Wajar.
Wajar, jika manusia ingin bersandar pada bahu, atau pundak, bahkan punggung, seseorang yang lebih kuat darinya.
Wajar.