Pages

Rabu, 27 Juli 2016

Aku, kau anggap apa?

"selama ini, aku sendiri. Semuanya kukerjakan sendiri. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, aku sendirian"
Ucapmu.
Entah agar ada yang mengasihanimu.
Entah agar mereka semua tahu kau berjuang.
Atau, entah hanya agar hilang sesak di dadamu.
Lalu,
Aku yang selama ini merekat padamu,
Kau anggap apa?
Aku melihatmu berjuang, kemudian memintamu melibatkanku.
Kau menolak.
Aku saja, katamu.
Aku berdebar melihatmu pontang panting, kemudian tanpa bertanya, membantumu.
Kau diam, tanpa senyum, tanpa terima kasih.
Tidak, aku bukan pengemis terima kasih.
Aku hanya,
Selama ini kau anggap aku apa?
Aku berpeluh datang saat kau memintaku.
Tapi kau tak peduli tentangku.
Kau hanya,
Ah.
Kau malah bertanya padaku tentang mereka.
Yang harusnya kau tahu.
Jika kaupun tak tahu mereka di mana, bagaimana aku bisa tahu?
Kau anggap aku apa?
Aku tidak memintamu memohon kepadaku untuk membersamaimu, tidak.
Aku, akan dengan otomatis ada saat kau memintaku.
Tapi mungkin karena itu.
Mungkin karena aku selalu ada untukmu maka kau tak lagi menganggapku seperti kau menganggap mereka.
Tidak, aku tidak akan menghilang, ngambek seperti bocah sd minta dibelikan mainan.
Aku hanya akan menghilangkan senyum dari wajahku.
Mempersingkat bicaraku.
Dan dengan senang hati tak lagi tertawa pada leluconmu, walaupun itu lucu.
Aku bukan ngambek.
Aku hanya tak lagi berminat mendermakan kebahagiaanku padamu.
Aku tak butuh terima kasih, sebenarnya.
Lebih butuh senyummu, lebih butuh bicaramu, tentangku.
Aku, yang karena tanggung jawabku harus selalu ada membersamaimu.
Aku butuh diakui.
Iya. Salah? Kalau menurutmu salah, pantas saja.
Karena menurutku, itu hakku.
Hakku yang aku berhak memintanya darimu karena sudah melaksanakan kewajibanku padamu.
Sudahlah,
Aku sudah kadung kehilangan bahagiaku yang dulu kutahan agar tetap bersinar di kedua kelopak matamu.

Selasa, 26 Juli 2016

Hening

Bersama malam, kuantarkan rindu padamu.


Ummi.
Aku butuh dikuatkan peluk dari kedua lenganmu.
Abi.
Aku jatuh, lagi. Terluka, lagi. Berdarah, lagi.
Sulit, mi.
Mengembangkan senyum sambil tertusuk pisau.
Aku berair mata, bi.
Dilimpahkan segala kesulitan pada pundakku, aku tak sanggup.
Ummi, abi.
Aku ingin pulang.
Ingin dibelai kepalaku, dikuatkan abi.
Ingin dicium keningku, dibuat tangguh ummi.
Aku kehabisan energi menguatkan dan menegarkan, ummi.
Apa abi tak pernah merasakannya?
Kalau pernah, aku tak percaya.
Tak pernah habis energi abi membuatku menjadi gadis kuat.
Tak pernah habis nyala mata ummi membuatku menjadi gadis sekeras ini.
Ummi, abi.
Apa seorang sulung tak boleh melemah?
Apa seorang kakak tak boleh bersandar?
Apa seorang pemimpin, tak boleh berderai air mata karena kelelahan memikul tanggung jawab?
Kalau tidak, tak apa.
Asal ummi dan abi ada.
Ada untuk mencegah sulungmu melemah, jatuh lalu menangis.
Tak apa kalau tak boleh bersandar.
Asal ummi dan abi melihat.
Melihat kaki sulungmu yang berlari, agar ia tak tersandung satu dengan yang lainnya.
Tak apa kalau tak boleh basah mataku.
Asal ummi dan abi bersuara.
Untuk sekedar menjadi pengingat bahwa uhibbuki fillah yang ummi dan abi bisikkan itu nyata. Bahwa kuat dan mampu yang ummi abi katakan itu memang aku.
Ummi, abi.
Tapi sulungmu tetap ingin pulang.
Sudah habis kuatnya, sudah lelah hatinya.
Ummi, abi.
Ummi.
Abi.