Kalau kau bilang menjadi wartawan merupakan pekerjaan yang menyenangkan, kau salah besar! Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan-beserta pertanyaan cadangan- yang harus kau pikirkan masak-masak agar berita yang kau buat sempurna, mengejar narasumber yang mendadak menjadi sok penting, me-reschedule jadwal pertemuan dengan narasumber karena alasan sepele, dikejar deadline artikel, dan segudang masalah lain yang tak bisa dijabarkan satu persatu. Menjadi wartawan, apalagi wartawan skala nasional dengan jam terbang yang bisa kau bilang sangat tidak manusiawi, akan mengambil beberapa persen dari kewarasanmu dan memunculkan sedikit korsleting saraf-saraf di otakmu.
-0-0-0-0-0-
“DIBAAAA!!! LO KENAPA SIH SUKA BANGET NARIK KERAH BAJU ORANG?!!!” udah beribu-ribu kali gue denger kalimat itu. Dan kali ini, kalimat itu keluar dari mulut bocah paling tablo sedunia, Revan.
“heh, gue pernah bilang kan sama lo? Jangan pernah jalan di depan gue karena gue gak suka orang yang jalannya lelet kayak elo! Minggir, lo!” dasar tulalit! Emang ya otak orang kelewat pinter itu beda banget sama otak orang yang berusaha pinter. Gue kan udah bilang berkali-kali kalau gue gak suka liat penampilannya yang kayak orang katro. Kacamatanya, sepatunya, celana bahannya. DUH!
-0-0-0-0-
Audiba Dinianty
Namanya cantik, wajahnya juga cantik. Sayang seribu sayang, kelakuannya kayak preman pasar. Ganas. Bukan sekali dua kali dia berani ngerendahin harkat dan martabat gue sebagai cowok brilian yang harusnya masuk jurusan kedokteran tapi malah nyasar di jurusan jurnalistik. Gue ingat banget, waktu pertama kali masuk kampus. Pas ospek, dia narik kerah baju kakak tingkat dari belakang sampai bajunya sobek dan bahu kakak tingkat itu terekspos kemana-mana dan bukannya minta maaf, dia malah ketawa ngakak sambil ngasih pulpen ke kakak tingkat itu. Setelah jadi mahasiswa gue baru tau ternyata dia Cuma mau ngembaliin pulpen kakak itu. Yang gue heran, kenapa harus narik kerah baju, DIBAAA?!
“blo, lo gak bosen belajar mulu?” nyamperin gue yang lagi duduk di kantin sambil baca-baca artikel, enak banget dia main seruput es jeruk gue. Manggil gue tablo tanpa rasa bersalah.
“dib, lo kenapa sih narikin kerah baju orang mulu? Gak bosen?”
“yeee gembel lu. Ditanya balik nanya. Emang kenapa kalo gue suka narikin kerah baju orang? Masalah buat lo? Buat keluarga lo? Buat masa depan lo?” kan kaan kaaann. Mulai lagi. satu hal lagi yang gak gue suka dari Diba adalah tempramennya yang kelewat parah. Penyakit darah tinggi yang diakumulasi kepribadian koleris. Senggol bacok aja bawaannya.
“sabar, dib. Orang sabar disayang Allah. Gue kan Cuma nanya, kalo lo gak mau jawab, yaudah gapapa kok.” Setengah sadar, gue nyodorin es jeruk gue biar dia adem. Malu juga diliatin seisi kantin gara-gara teriakan Diba yang kayak geledek di siang bolong.
-0-0-0-0-0-0-0-0-
“mbak Dib, deadline artikel mas Revan lusa ya!” Rena teriak dari mejanya.
Membuyarkan lamunanku tentang masa-masa kuliah dulu. Revan. Dari sekian banyak penulis bestseller yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini, KENAPA HARUS REVAN?!! Kenapa harus Revan yang aku wawancara gustiiiii. Dari sekian banyak wartawan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tersayang ini, KENAPA HARUS AKU?!! Gak cukup kah penderitaanku di masa lampau? Siapa pula yang sudi ketemu sama mantan suami yang kau ceraikan gara-gara kesalahpahaman? SIAPA?!!!
“ARGGH!!”
“ASTAGHFIRULLAH”
“MBAK DIBAAAAA!!! Jangan tiba-tiba teriak kayak orang kesetanan dong mbak!” si cempreng Rena ngamuk. Padahal aku gak bermaksud untuk mengeluarkan teriakan maut itu tapi apa daya, sudah terlanjur keluar.
“keceplosan, Ren. Sowry.” Ucapku sambil nyengir. Membuat Rena menggelengkan kepala sambil memegang kerah bajunya. Aku tahu itu trauma. Waktu pertama kali masuk kantor, bocah itu pernah dengan sengaja kupanggil dan kutarik kerah kemejanya sampai membuatnya ambruk ke lantai kantor. Posisi jatuh duduk. Terbaiks.
“narsum lo reschedule, Dib?” Tio, si culun maniak perangko itu menyapaku.
“narsum? Enggak kok. Ngapa emang?”
“sekarang pukul 3, Audiba Dinianty. Kecuali lo reschedule jadwal wawancara lo, gue yakin seyakin gue yakin sama Allah kalo lo udah terlambat wawancara, sweetheart.”
“OMAYGAT OMAYGAT OMAYGAT!!!!” tanpa ba bi bu aku langsung menyambar ransel dan topi hitam serta masker kesayanganku, seketika teringat soundtrack kartun kesukaanku waktu kecil dulu.
Lari lari lari (lari lari lari) tendang dan berlari, berjuanglah Tsubatsa, pahlawan kita..
Tulisan ini merupakan tulisan yang dibuat dalam rangka STORY BLOG TOUR One Week One Paper.
Episode 1: Ketika Adiba Kembali - Tutut
Episode 2: Penarik Kerah Baju - Rifdah
Episode 3: masih coming soon dan akan terbit dari web Rias
HAPPY READING!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar