Pages

Selasa, 17 Februari 2015

ah, jilbab



Kemarin pagi seorang sahabat lama mengajakku bertemu di sebuah mall, meminta untuk menemaninya ke salah satu butik baju muslim di mall tersebut siang nanti, dan tanpa berpikir panjang aku meng iya kan ajakannya. Dengan bekal ilmu kalau pasar adalah tempat yang disukai oleh jin dan dengan bujuk rayu yang dilancarkan oleh setan, aku tidak berpikir dua kali. Entah akan berapa banyak uang yang kuhabiskan. Uang yang jika aku mampu berpikir dua kali, takkan habis untuk hal yang sia-sia.

Jadilah siangnya, aku menemaninya ke mall tersebut. Menunggunya di depan mall dan melihat wajahnya penuh senyum menghampiriku yang menunggunya selama 15 menit membuat segala kerinduan yang kemarin membuncah, menguap begitu saja. Tergantikan kebahagiaan tiada tara karena Allah pertemukan kembali dengan salah seorang hambanya yang berhasil membuat bidadari surga cemburu padanya karena ia mampu membuktikan cintanya pada rabbnya, salah satunya dengan menutup auratnya secara sempurna.

“afwan ya da tadi angkotnya ngetem lama banget jadi aku telat. Salahku juga sih gak berangkat lebih awal.” Ucapnya setelah kami bersalaman. Mendengarnya mengucap ‘afwan’ membuat kecintaanku padanya makin dalam. Ia sudah mengerti, dan aku bahagia karenanya.

“iya gakpapa kok, aku juga belum terlalu lama nunggu. Yuk masuk!” ajakku sambil berjalan menuju pintu masuk

“emang mau beli baju kayak apa sih? Bukannya gamismu udah banyak? Khimarmu juga udah lebih dari dua lusin kan?” tanyaku saat kami menaiki eskalator menuju lantai dua, tempat butik itu berada

“hehe iya tapi ada gamis yang kutaksir da, habisnya lucu modelnya” jawabnya sambil nyengir

“eh, da! Kamu juga beli ya? Kita kembaran!” serunya sebelum aku sempat mencerna apa tujuan sebenarnya dari gadis ini saat ia memutuskan untuk menutup seluruh auratnya dengan jilbab dan akhirnya pikiran itu menghilang begitu saja.

“eeh? Enggak deh yaaa. Cukup kamu aja. Nanti kalau aku cocok sama modelnya, baru aku ikut beli, tapi bilang ummi dulu.” Bukannya aku gak mau langsung beli, tapi memang aku gak pernah beli baju tanpa ummiku. Bukan karena aku gak bisa milih baju buat diriku sendiri, tapi lebih karena apa yang aku lihat bagus buatku, terkadang cuma fatamorgana. Sampai saat ini, cuma ummi yang tahu apa yang terlihat bagus untuk kukenakan.

Tak lama, kami pun sampai di butik yang dituju sahabatku dan aku cukup terkejut karena ternyata butik itu lebih dari ramai, sesak! Setelah berdebat cukup panjang dan dengan mengemukakan alasan-alasan yang tak mungkin terjadi dan dilepas dengan wajah cemberut dan paksaan untuk bersumpah agar aku tak ngeloyor pergi ke toko buku, aku berhasil meyakinkan sahabatku untuk masuk kedalam seorang diri dan aku menunggunya dengan tulus di luar butik. Duduk di atas kursi plastik berwarna biru, khas kursi yang berada di warung-warung pecel lele pedagang kaki lima di pinggir jalan. Kursi yang diatur sedemikian rupa agar mudah diangkut kembali saat satpol pp datang tiba-tiba untuk merazia.

Baru sepuluh menit aku duduk disana, ada dua orang remaja putri masuk kedalamnya dengan wajah sumringah. Yang satu berkerudung biru muda dan yang satu hijau muda, dilihat dari tingkahnya, sepertinya masih SMA. Luar biasa, masih SMA tapi sudah menutup auratnya dengan sempurna.

Belum puas aku mengagumi keadaan pemuda muslimah saat ini, gadis berkerudung biru muda berkata pada temannya
 “La, yang ini lucu bangeeeet” katanya sambil memegang khimar bermotif bunga kecil-kecil berwarna warni, khas baju anak TK. Ooo, nama temannya ada “La” nya, Lala kah? Mila? Dila? Haha aku mendadak  tersenyum memikirkan betapa kurang kerjaannya diriku. 

Tapi senyumku kemudian hilang saat “La” berkata
“iyaaaaa, beli aja! Pasti si X langsung klepek-klepek ngeliat lo pake kerudung ini.” 

APAAAA?!!! Si X? cowok? Seketika lidahku kelu, pikiranku membeku. Bagaimana bisa? Lantas aku memutar kembali ingatanku. Saat berdiri di eskalator, saat sahabatku bilang kalau dia naksir salah satu gamis yang katanya modelnya lucu. Dan tanpa pikir panjang aku masuk ke dalam butik itu dan menarik sahabatku keluar. Dengannya yang melayangkan protes, aku hanya bilang aku ingin pergi ke kamar kecil dan memintanya diam dan menemaniku. 

Di kamar kecil, aku memandangnya dan bertanya
“sebenarnya, apa yang kamu pikirkan saat memutuskan untuk berjilbab syar’i?” tanyaku yang tak tahu rasanya membuka auratku di depan mereka yang bukan mahramku karena dari bayi, ummi dan abi menjagaku.

Sahabatku heran, lantas menjawab “untuk menaati perintah Allah lah da, kan kamu sendiri yang bilang waktu itu.” Aku terdiam, membenarkan perkataannya tapi meragukan jawabannya
“yakin karena Allah? Kalau karena Allah lantas untuk apa baju-baju lucu yang kamu beli? Untuk memikat siapa? Untuk membuat siapa memujimu?” cecarku kepada sahabatku yang kemudian terdiam dan terlihat berpikir

“aku begitu senang melihatmu berubah, begitu senang saat kau memberitahuku bahwa hidayah telah datang padamu dan akhirnya kau menutup auratmu secara sempurna sesuai dengan aturan yang ditetapkannya. Aku begitu bahagia saat banyak bertebaran muslimah-muslimah lain yang sepertimu. Hijrah, menutupi seluruh auratnya secara sempurna. Aku begitu dibutakan dengan banyaknya mereka yang berlomba-lomba datang ke kajian tentang islam, begitu terpukau dengan mereka yang berlomba-lomba memanjangkan jilbabnya, bahkan tak jarang memakai niqab tak lama setelah mereka memutuskan berjilbab syar’i. Aku begitu bangga. Tapi tak pernah berpikir mengapa. Aku kira, penjelasan bahwa hidayah telah menghampiri mereka saja, sudah cukup untuk membuatku beristirahat sejenak dari penatnya menyampaikan makna dari QS Al-Ahzab:59 dan QS An Nur:31. Tapi ternyata tidak. Obrolan dua remaja tadi menamparku hingga terjengkang. Dimana aku saat banyak muslimah berhijab bukan karena Allah? Dimana aku saat banyak muslimah tak tahu menahu apa arti dari jilbab? Apa arti dari menutupi dan melindungi kehormatan dan kemuliaan mereka?” dan aku menangis setelah mengutarakan apa yang kupikirkan. Membuat sahabatku yang mendengarkannya terpana sekali lagi. dan aku tak peduli. Aku tak peduli saat dia memelukku dan berkata

“kau benar, da. Aku berjilbab bukan karena Allah memintaku untuk menutupi auratku dan membantu para laki-laki menundukkan pandangannya.”
Dan satu hal yang terus menerus kupikirkan, apa aku yang hina ini berjilbab karena IA memintaku untuk menjaga kemuliaan dan kehormatanku serta membantu para laki-laki menundukkan pandangannya?
didedikasikan untuk bidadari-bidadari yang kepandaiannya menjaga dirinya membuat bidadari-bidadari surga cemburu, semoga menjadi pengingat saat bisikan setan membuat diri khilaf. Allah bersamamu, selalu

1 komentar: