Pages

Sabtu, 21 Maret 2015

Pertiwiku

Aku melihatmu tenggelam hari ini
Atau lebih tepatnya
Menenggelamkan diri
Ada apa denganmu?
Aku mengingat sisa percakapan kita semalam
Kau menangis
Bukan dengan airmata kepura puraan seperti yang dulu sering kita lakukan saat melakonkan beragam teatrikal
Melihat air matamu yang meluncur deras semalam, aku merasakan sakitnya juga
Kau menangis dengan melibatkan hatimu seluruhnya
Negeri kita
Desahmu diikuti dua kata yang membuatku seolah tertampar
Ya, kukira kau menangisi keegoisanmu
Tapi ternyata tidak
Tangismu untuk pertiwi
Dan aku yang terpana, mulai ikut menangis bersamamu
Kukira, semalam saja cukup untukmu menumpahkan segalanya
Tentang betapa inginnya kau tinggal di sebuah negara yang seluruh dunia tahu bahwa keanekaragaman budayanya membuat setiap negara iri
Tentang betapa bahagianya dirimu jika semua orang di dunia mengenal negara kita karena hutan kita, lahan kita, paru paru dunia
Kau lalu menghela napas dan bergumam sendiri tanpa mengajakku
Tapi mungkinkah?
Saat para pejabat ribut akan sengketa kekuasaan
Mungkinkah?
Saat hukum yang dibangun di atas undang undang dasar dan pancasila tak lagi memperlihatkan keadilan
Benarkah masih mungkin?
Saat jutaan anak anak dicekoki kejamnya hidup di jalanan
Dicekoki pornografi bahkan oleh orangtuanya sendiri
Dicekoki rokok, shabu dan narkoba atau bahkan hal remeh seperti lem, oleh lingkungan yang tak pernah bersahabat dengannya, bahkan saat ia masih dalam kandungan
Mungkinkah?
Negeri ini terlalu parah bobroknya
Terlalu nyaman penghuninya beraksi hanya lewat gosip gosip dan sumpah serapah murahan, tanpa benar benar menyelamatkannya
Entah dengan belajar membuang sampah pada tempatnya
Entah dengan belajar merawat pepohonan yang seringkali jadi objek keisengan tangan tangan usil
Entah dengan tidak memberi walau hanya lima ratus, atau seribu dua ribu pada pengemis di lampu merah
Entah dengan menaati peraturan lalu lintas
Entah dengan menjadi pejabat dan perangkat negara yang bekerja sesuai fungsinya
Entah dengan banyak hal kecil lain, yang jika disatukan akan menjadi besar
Entahlah
Kami terlalu sibuk dengan melempar isu lalu mengomentarinya dengan meminjam nama seisi penghuni kebun binatang, ketimbang harus berlelah lelah membaca dan mempelajari situasi negara kami saat ini
Kau lalu menatapku setelahnya
Menggenggam jemariku yang dingin karena udara malam dan keluhmu tentang tanah yang kita pijak, pertiwi yang jadi tempat kita bernaung
Teruslah berbuat baik tanpa memuji perbuatan baikmu sendiri
Teruslah tersenyum untuk oranglain, bukan untuk dirimu yang semakin cantik karena perbuatan perbuatan baikmu
Teruslah memuji, jangan lagi mengkritik
Teruslah menemaniku
Membenahi helai demi helai rambut pertiwi yang acak-acakan
Menyeka bekas air mata yang tak kunjung kering di pipinya yang makin keriput
Membuatnya tersenyum kembali walau hanya sedetik atau dua detik dengan segala usaha yang kita lakukan untuk membuat negeri kita berubah menjadi lebih baik
Biarlah jika hanya ada kita berdua saat ini
Nanti akan tiba saatnya bagi anak cucu kita menggantikan tangan tangan kita yang selalu bergerak untuk berbenah
Aku ingat jelas kata katamu semalam
Janji janji yang kita buat untuk pertiwi
Bahwa putra putrinya masih tetap setia menjaganya
Tapi hari ini, saat kau tenggelamkan sinarmu yang semalam membuatku silau dalam mendung
Kau menghampiriku dan berkata dengan wajah kusut dan mata yang menatap sayu
Aku berhenti
Katamu
Lalu kemudian aku melihat koper besar yang kau bawa
Aku akan pergi
Katamu tanpa sempat aku meluncurkan pertanyaan
Ke negeri sebrang
Mereka membutuhkanku
Menjaminku dengan sesuatu yang tak bisa dijamin bahkan oleh negeriku sendiri
Aku tak punya pilihan
Dan begitu saja, tanpa pelukan atau salam perpisahan yang seharusnya
Kau berbalik, meninggalkanku yang masih termangu
Kukira kau berbeda
Tapi ternyata tidak
Kau sama saja dengan jutaan putra putri pertiwi yang pergi karena sinarnya tak dihargai oleh negerinya sendiri
Dan aku menatap langit, menatap pertiwi
BERAPA BANYAK LAGI YANG AKAN KAU BIARKAN PERGI, BU?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar